Syukur: Rem Tangan Biar Nggak Kebablasan


Kebanyakan orang enggan mensyukuri apa yang mereka dapati saat ini. Tidak sedikit juga yang selalu tak pernah puas akan hasil kerjanya sendiri dan selalu menginginkan yang lebih-lebih lagi.

Sudah menjadi sifat manusia yang selalu serakah, arogan, selalu tidak puas dengan yang ia dapatkan. Akan tetapi, setidaknya kita harus bersyukur atas apa yang kita peroleh. Kecil ataupun besar itu hanyalah masalah nominal. Dan perlu diketahui, poin sebenarnya bukanlah itu. Poin sebenarnya ialah: apa yang kamu dapat syukuri.

Lho, kok begitu?

Begini. Bayangkan kamu punya nasi uduk sepiring. Mungkin nggak semewah steak wagyu level restoran bintang lima. Tapi, nasi uduk itu hangat, ada telurnya, tempe gorengnya kriuk, sambelnya nendang. Kalau kamu makan sambil nyalain YouTube, liatin kucing main piano, wah—itu udah cukup jadi momen mewah dalam hidup. Tapi anehnya, masih ada aja yang bilang, "Andai aku bisa sarapan di Paris..." Lah, kamu sarapan di warung Bu Jum aja udah dapet cinta dan sambel pedas. Apa kurangnya?

Coba kita lihat kehidupan dari sisi lain. Ada orang yang pengen banget beli mobil baru, padahal motor bebeknya masih bisa ngebut kalau pagi-pagi telat kerja. Ada juga yang iri lihat orang lain liburan ke Bali, padahal dia sendiri udah tiga kali ngelewatin kebun teh yang cantik tiap mudik tapi nggak pernah berhenti buat foto-foto. Mirisnya, orang ini juga yang paling kenceng ngomong, “Hidup kok gini-gini aja sih…”

Kuncinya adalah: bersyukur. Tapi bukan berarti berhenti berusaha, ya. Bersyukur itu seperti rem tangan di turunan. Bukan buat bikin kita mandek, tapi biar nggak kebablasan sampe lupa diri. Karena kalau kita terus-terusan ngeluh, hidup ini bakal terasa kayak jalan di bawah terik matahari—panas, haus, dan nyebelin. Tapi kalau kita bersyukur, hidup jadi kayak jalan pagi di taman—adem, rileks, kadang nemu tupai lucu.

Dan jangan dikira orang yang kelihatannya bahagia itu hidupnya sempurna. Bisa jadi dia juga pengen hidup kamu, karena kamu bisa ketawa lepas, makan gorengan tanpa mikirin kolesterol, atau tidur siang tanpa kepikiran cicilan. Hidup ini soal perspektif. Kayak mie instan—kalau kamu lihat dari sudut lapar, itu gourmet. Tapi kalau kamu lihat dari sudut ibu-ibu arisan, itu cuma "makanan darurat".

Jadi, yuk coba ubah pola pikir. Kalau dapet gaji, jangan langsung bilang “Kok cuma segini?” tapi bilang, “Alhamdulillah, masih bisa beli tahu bulat dadakan.” Kalau hujan turun pas kamu mau jemuran, jangan marah-marah, tapi pikir: “Syukur deh, tanaman disiram gratis.”

Syukur itu bukan soal jumlah, tapi soal cara kita melihat. Seperti kata bijak modern: "Kalau hidup memberi kamu lemon, tambahin gula, es, dan jual jadi lemon tea."

Dan ingat, teman-teman... Hidup itu bukan lomba siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling bisa ketawa. Maka dari itu, yuk kita latihan: tarik napas, lihat ke sekitar, dan bilang pelan-pelan… “Hidupku nggak sempurna, tapi ini cukup. Dan... cukup itu enak.”

Kalau belum percaya, coba deh senyum sekarang. Nggak perlu alasan, senyum aja. Lihat? Rasanya lumayan, kan? Itu namanya: SYUKUR versi kilat. Gratis dan bikin adem.

Satria

Saya orang yang paling keren menurut saya sendiri.
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar