13 Maret 2014. Tahun ke-9 pernikahan kami. Masih seperti tahun-tahun sebelumnya, sunyi tanpa suara tangis bayi. Kami masih berdua, setia menanti kepercayaan dari Sang Pemilik Hidup. Mimpi kami saat baru menikah sederhana tapi dalam: memiliki tiga anak, laki-laki, perempuan, lalu laki-laki lagi. Itu pun hanya batas minimal. Dalam canda dan doa kami, terselip harapan untuk sebelas anak, cukup untuk membentuk satu kesebelasan sepak bola. Hehehe.
Mungkin doa kami belum sungguh-sungguh. Mungkin ibadah kami masih belum khusyuk. Kami sudah mencoba berbagai cara, saya bahkan resign dari pekerjaan untuk fokus menjalani program kehamilan: minum ramuan tradisional, terapi pijat, hingga pemeriksaan medis. Hasilnya membuat hati remuk, sperma suami saya lemah, dan saya pun memiliki masalah di saluran tuba falopi. Entahlah, istilah medisnya pun saya lupa. Yang saya ingat hanyalah rasa kecewa dan pilu yang sulit dihapus.
Usia juga menjadi tantangan. Kini saya 38 tahun. Kata dokter, usia aman untuk hamil adalah hingga 40 tahun. Itu berarti tinggal dua tahun lagi... dua tahun terakhir perjuangan kami untuk bisa punya anak kandung.
Tapi kami tak ingin berburuk sangka pada Tuhan. Kami yakin, suatu hari nanti keajaiban itu akan datang. Hingga tahun ketujuh usia pernikahan, kami masih menutup hati untuk opsi adopsi. Namun, takdir mempertemukan kami dengan satu cerita tak terduga.
Lina, sepupu saya, hamil di luar nikah. Ibu saya mengusulkan agar kami mengadopsi bayinya. Lina sendiri masih kuliah semester awal di sebuah universitas swasta di Jakarta, masa depannya masih panjang. Setelah diskusi keluarga, Lina mengangguk pasrah saat ibunya memintanya menyerahkan bayinya untuk kami asuh.
Hari-hari berlalu dengan penuh harapan. USG menunjukkan bayi Lina adalah laki-laki. Sesuai impian kami, anak pertama laki-laki. Kami mulai membeli perlengkapan bayi, meski rumah kami kecil, hanya 3x9 meter, sebuah kontrakan milik ibu. Tapi semangat kami besar. Rezeki kecil asal berkah, cukup untuk membesarkan satu anak, pikir kami.
Namun, menjelang hari kelahiran, Lina berubah pikiran. Ia tak ingin menyerahkan bayinya. Saya menangis sejadi-jadinya. Harapan yang nyaris tergapai, sekejap buyar. “Sabar, Mah,” ucap suami saya sambil menggenggam tangan saya erat. “Mungkin memang belum rezeki kita. Allah punya rencana yang lebih indah.”
Kami kembali menjalani hari-hari kosong, namun kali ini dengan hati yang sedikit lebih kuat. Kami mulai mempelajari ilmu parenting. Siapa tahu, ketika saat itu tiba, kami sudah lebih siap.
Lalu, dua bulan berlalu tanpa haid. Tapi saya anggap biasa. Siklus saya memang sering tak teratur. Tapi entah kenapa, hati saya berbisik lain. Saya minta suami membelikan test pack.
“Mah, katanya kalau test pack pagi-pagi lebih akurat.”
“Tapi, Bang… Ana nggak sabar. Ana pengin tahu sekarang.”
“Ya sudah, coba aja.”
Dan ketika dua garis itu muncul, tangan saya gemetar. Seperti mimpi. Dulu juga pernah begini. Tapi kandungan saya tak bertahan lama, keguguran datang tanpa ampun. Maka, saya tak ingin terlalu berharap.
Besok paginya, ditemani ibu, saya periksa ke dokter. USG perut tidak menunjukkan apa pun. Lalu dokter menyarankan USG transvaginal. Sakit. Tapi rasa sakit itu tertutup oleh rasa penasaran ingin melihat bayiku. Saat itu, janin terlihat, tapi detaknya lemah. Dokter berkata kemungkinan besar janin tidak berkembang.
Langit seakan runtuh. Air mata saya mengalir tanpa henti. Di luar ruang praktik, ibu memeluk saya. “Kita cari dokter lain, nak.” Tapi saya menolak. “Sudahlah, Bu… Mungkin memang belum jodohku jadi ibu.”
Namun, ibu tak menyerah. Kami pergi ke dokter kedua. Di sana, dokter memastikan janinnya sudah tiada. Harus dikuret. Kali kedua saya kehilangan calon anak. Kali kedua saya merasa seperti wanita gagal.
Sebulan pun berlalu. Perlahan, luka itu mulai mengering, meski bekasnya tetap tertinggal di hati. Lalu, di siang yang panas, ibu datang terburu-buru ke rumah.
“Ana! Ada orang datang ke rumah. Mereka punya bayi yang bisa kita rawat!”
Saya bingung. “Pelan-pelan, Bu. Siapa? Anak siapa?”
“Pacarnya Ruli! Dia baru melahirkan di Puskesmas Permata Kasih. Ruli itu sudah punya dua istri, tapi yang ini bukan istri resminya. Mereka bingung mau kasih anaknya ke siapa.”
Saya langsung terpaku. Dalam hati saya ada desir harapan baru. “Tunggu, Bu. Ana bangunin abang dulu.”
Kami duduk bertiga. Suami saya berkata, “Saya ingin sekali ambil bayi itu, Bu. Tapi kami tak punya dana untuk ganti biaya persalinan.”
“Sudah, nak. Biar ibu yang bantu. Sekarang tinggal kesiapan kalian.”
Saya dan suami sepakat. Besoknya kami ke puskesmas. Dan di sana… bayi mungil dengan berat 3,1 kg itu menyambut kami. Cantik. Lembut. Seperti jawaban atas doa kami.
Setibanya di rumah, kami segera mengurus proses administrasi. Dengan disaksikan Pak RT, Pak RW, dan beberapa warga, disepakati bahwa bayi itu menjadi anak kami. Namanya: Alya.
Dua setengah bulan sudah berlalu. Alya tumbuh menjadi bayi yang cantik, dengan bulu mata lentik dan rambut keriting halus. Setiap sore kami berjalan bersama, menanti suami pulang kerja.
Sore itu, saya merasa mual hebat. Pusing. Muntah semua isi perut. Saya pikir hanya masuk angin. Saya telepon ibu. “Bu, Ana pusing, mual-mual. Kayaknya masuk angin.”
“Jangan-jangan hamil lagi?”
“Ah, Ibu. Ada-ada aja. Ana udah dua kali keguguran. Sekarang udah ada Alya. Udah cukup.”
Namun, rasa penasaran tak terbendung. Saya membeli test pack.
Dua garis.
Saya terdiam. Tak bisa berkata-kata. Hati saya berdebar... mungkinkah kali ini berbeda? Mungkinkah ini... keajaiban ketiga?

0 Komentar