Wangi khas kopaja dan teriakan abang kerneknya menambah terik panas siang itu, sebuah kopaja 95 jurusan Kalideres - Taman Anggrek membawa saya menuju ke sebuah Mall di Jakarta. Sahabat saya bekerja di sana dan kami sudah buat janji untuk sekadar jalan-jalan di mall sepulang dia bertugas, iya jalan-jalan doank dan pulangnya pasti membawa teng-tengan hehe. Pengamen dan kopaja adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan (kaya kamu dan pacar kamu itu), satu pengamen dan lainnya bergantian masuk dan “perform” di hadapan penumpang. Dan sekarang ini modusnya nggak cuma sekadar nyanyi, tapi ada yang pidato panjang lebar doank bicara yang saya pun kadang-kadang nggak ngerti intinya apa, dan ada yang menggunakan modus membagikan amplop kecil.
Kopaja yang saya naiki berpenumpang nggak lebih dari 5 orang, saya duduk di belakang supir persis. Di tengah perjalanan, ada seorang pengamen naik dan mulai membagikan amplop lalu tidak lama dia menyanyikan sebuah lagu, tak sampai selesai satu lagu kemudian si mbak pengamen ini mengambil amplopnya kembali, ketika dia mendatangi saya dan menyadari saya tidak memasukan uang ke dalam amplopnya, dia mengumpat dengan bilang begini ke saya :
“Anjing luh !” Sambil memasang muka betenya.
Dan saya merasa hari itu semakin asoy panasnya karena ditambah saya dibilang anjing barusan. Saya harus buat pengakuan di sini, saya kalau ada uang kecil pasti saya kasih, uang kecil terakhir saya pakai untuk ongkos kopaja barusan. Jadi ya, sungguh mohon maaf kepada mbak pengamen karena saya hanya memberi senyum tapi si mbaknya malah ngatain saya anjing.
Sepulang dari main, kejadian tadi membuat saya berpikir malamnya. Lain kali kalau berpergian dan naik kopaja saya harus antisipasi agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Besoknya tanpa ragu saya membeli dompet kecil khusus untuk koin. Dan sejak itu saya juga menolak ketika kasir minimarket menawarkan kembalian uang belanjaan saya untuk didonasikan, bahkan 200 perak pun saya tetap ambil lha wong itu hak saya kok. Kesannya saya pelit ya, tapi kalian tahu lah uang tersebut akan menjadi penghuni dompet koin saya dan arahnya ke mana.
Berikutnya saat saya berpergian saya selalu membawa dompet koin saya. Dan semisal pergi makan di luar dan di tempat yang sekiranya jadi sasaran empuk para pengamen saya akan menyediakan beberapa keping koin untuk mereka, sungguh para pengamen ini sangat saya istimewakan bukan? Hehehe.
Apa yang tengah saya lakukan, sama halnya dengan ibu-ibu yang ke pasar membawa payung di tangan, sama halnya dengan mereka yang sedia jas hujan di tas kerja mereka saat musim hujan, sama halnya dengan orang-orang zaman sekarang yang selalu memasangkan smartphone dengan powerbank ke manapun mereka bepergian. Dan sama dengan pelajar nakal yang menyiapkan contekan sebelum ujian. Maafkan saya untuk contoh terakhir yang kita semua tahu itu perbuatan yang tidak terpuji. Tapi saya yakin kalian akan setuju jika saya bilang bahwa kita semua sedang mengantisipasi sesuatu yang tidak kita harapkan. Saya dengan dompet kecil, adalah antisipasi atas tatapan benci pengamen jika dia menyodorkan topi atau bungkusan permen tapi saya balas dengan senyum lalu isyarat menolak memberi. Ibu –ibu yang membawa payung di tangan dan mereka yang sedia jas hujan di tas kerjanya adalah antisipasi menghindari basah karena hujan yang bisa turun sewaktu-waktu. Mereka yang membawa powerbank ke mana-mana bisa kita anggap sebagai orang yang super sibuk sehingga takut jika smartphone mereka kehabisan baterai dan komunikasi bisnis maupun social media akan terputus dan akan mengakibatkan kerugian. Lalu pelajar yang gemar menyontek ini, ya kita bilang saja mereka ini malas belajar dan menghindari amarah orang tua mereka jika tahu nilai ujian anaknya jelek.
Berbagai bentuk antisipasi sebenarnya masih banyak jika harus disebutkan satu per satu, namun semua merujuk pada satu tujuan yang sama yaitu menghindari kekacauan. Dan saya menaruh hormat setinggi-tingginya pada pencipta pepatah “Mencegah lebih baik dari pada mengobati” Karena memang benar adanya, kan ?
0 Comments